Search This Blog

Tuesday, March 22, 2011

Ibrahim bin Adham (160 H/777 M)

Ibrahim bin Adham dilahirkan di Balkh. Ia adalah anak seorang raja di Khurasan. Ia insyaf karena mendengar bisikan suara Ilahi ketika ia sedang berburu, dan sejak itu ia hidup dalam kefakiran dan kesederhanaan, mencari nafkah dengan hasil jerih payah tangannya sendiri. Ajarannya terutama berkaitan dengan assketisisme atau kezuhudan (zuhd), tetapi juga dengan tasawuf dan memusatkan perhatiannya terutama pada meditasi (muraqabah) dan gnosis atau makrifat (ma’rifah).

Untuk menjadi seorang wali Allah, engkau tidak boleh mencintai apapun di dunia ini atau di akhirat nanti dan engkau harus menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah dan menghadapkan wajahmu kepada-Nya, tidak menginginkan dunia ini dan akhirat nanti. Mencintai dunia ini berarti berpaling dari Allah demi kepentingan yang bersifat sementara, dan mencintai akhirat berarti berpaling dari Allah demi kepentingan yang bersifat abadi. Sesuatu yang bersifat sementara akan berlalu dan meninggalkannya pun bersifat sementara, tetapi meninggalkan apa yang abadi tidak akan berakhir.

Ada orang yang selalu merasa tidak puas dengan keadaannya dan mengeluhkan kemiskinannya. Ibrahim bin Adham berkata padanya: “Anakku, barangkali engkau membayar sedikit untuk kemiskinanmu?” “omonganmu ngawur,” kata orang itu, “engkau harus malu dengan dirimu sendiri. Apa ada orang yang membeli kemiskinan?” Ibrahim menjawab: “Bagiku, aku memilih kemiskinan atas dasar kebebasan kehendak dalam diriku. Bahkan, aku pun membelinya dengan harga dunia ini, dan aku akan membeli lagi sebagian kemiskinan ini dengan seratus kata, karena setiap saat kemiskinan menjadi lebih berharga bagiku. Ketika aku menemukan barang berharga ini, aku mengucapkan selamat tinggal pada kerajaan. Tanpa ragu barang sedikit pun, aku mengetahui nilai dan harga kemiskinan, sementara engkau tetap tidak mengetahuinya. Aku berterima kasih atas hal ini, sementara engkau sama sekali tidak berterima kasih. Mereka yang menginginkan hal-hal bersifat spiritual bersedia mengorbankan jiwa dan raganya demi mencarinya, dan mereka menghabiskan umur mereka demi mencintai Allah. Ambisi, hasrat, dan keinginan mereka adalah bersahabat dengan-Nya dan terbang melampaui segala sesuatu yang bersifat jasmani dan bersifat ruhani. Bila engkau termasuk orang yang tidak punya cukup ambisi seperti ini, pergilah, karena engkau sama sekali tidak pantas memperoleh anugerah Allah.


dari Tazkirat Al-Auliya


“Orang yang cinta Allah itu hilang, dalam melihat Allah hingga lenyap dirinya, dan dia tidak boleh membezakan yang mana penderitaan dan yang mana kesenangan.”

Diambil dari buku yang ditulis oleh Farid Al-Din Attar

Ibrahim bin Adham (Bahagian 1)

Abu Ishak Ibrahim bin Adham, lahir di Balkh dari keluarga bangsawan Arab di dalam sejarah sufi disebutkan sebagai seorang raja yang meninggalkan kerajaannya – sama dengan kisah Gautama Buddha – lalu mengembara ke arah Barat untuk menjalani hidup bersendirian yang sempurna sambil mencari nafkah melalui kerja kasar yang halal hingga ia meninggal dunia di negeria Persia kira-kira tahun 165H/782M. Beberapa sumber mengatakan bahawa Ibrahim terbunuh ketika mengikuti angkatan laut yang menyerang Bizantium. Taubatnya Ibrahim merupakan sebuat kisah yang unik dalam kehidupan kaum muslimin.

Kisah mengenai diri Ibrahim bin Adham

Ibrahim bin Adham adalah Raja Balkh dan memiliki daerah kekuasannya yang sangat luas. Ke mana pun ia pergi, empat puluh buah pedang emas dan empat puluh buat tongkat kebesaran emas diusing di depan dan di belakangnya. Pada suatu malam ketika ia tertidur di bilik istananya, atas bilik itu berderak-derik seolah-olah ada seseorang yang sedang berjalan di atas atap. Ibrahim terjaga dan berseru: “Siapakah itu?”

“Sahabatmu. Untaku hilang dan aku sedang mencarinya di atas atap ini,” terdengar sebuah sahutan.

“Bodoh, engkau handak mencari unta di atas atap?” seru Ibrahim.

“Wahai manusia yang lalai,” suara itu menjawab. “Apakah engkau hendak mencari Allah dengan berpakaian sutera dan tidur di atas katil emas?” suara itu menjawab.

Kata-kata itu sangat mengecutkan hati Ibrahim. Ia sangat gelisah dan tidak dapat meneruskan tidurnya. Ketika hari telah siang, Ibrahim pergi ke ruang tamu dan duduk di atas singgahsananya sambil berfikir-fikir, risau dan merasa amat bimbang. Para menteri berdiri di tempat masing-masing dan hamba-hamba telah berbaris sesuai dengan tingkatan mereka. Kemudian dimulakan pertemuan terbuka.

Tiba-tiba seorang lelaki berwajah menakutkan masuk ke dalam ruang tamu itu. Wajahnya begitu menyeramkan sehingga tidak seorang pun di antara anggota-anggota mahupun hamba-hamba istana yang berani menanyakan namanya. Semua lidah menjadi kelu. Dengan tenang lelaki tersebut melangkah ke depan singgahsana.

“Apakah yang engkau inginkan?” tanya Ibrahim.

“Aku baru sahaja sampai ke tempat persinggahan ini,” jawab lelaki itu.

“Ini bukan tempat persinggahan para kafilah. Ini adalah istanaku. Engkau sudah gila!” Ibrahim mengherdiknya.

“Siapakah pemilik istana ini sebelum engkau?” tanya lelaki itu.

“Ayahku!” jawab Ibrahim.

“Dan sebelum ayahmu?”

“Datukku!”

“Dan sebelum datukmu?”

“Ayah dari datukku!”

“Dan sebelum dia?”

“Datuk dari datukku!”

“Ke manakah mereka sekarang ini?” tanya lelaki itu.

“Mereka telah tiada. Mereka telah mati,” jawab Ibrahim.

“Jika demikian, bukankah ini tempat persinggahan yang dimasuki oleh seseorang dan ditinggalkan oleh yang lainnya?”

Setelah berkata demikian lelaki itu hilang. Sesungguhnya ia adalah Nabi Khidir as. Kegelisahan dan kerisauan hati Ibrahim semakin menjadi-jadi. Ia dihantui oleh bayang-bayangnya sendiri dan terdengar suara-suara di malam hari; kedua-duanya sama merisaukan. Akhirnya kerana tidak tahan lagi, pada suatu hari Ibrahim berkata: “Siapkan kudaku! Aku hendak pergi berburu. Aku tidak tahu apakah yang telah terjadi terhadap diriku sejak kebelakangan ini. Ya Allah, bilakah semua ini akan berakhir?”

Setelah kudanya disiapkan lalu ia berangkat pergi memburu. Kuda itu dipacunya melalui padang pasir, seolah-olah ia tidak sedar akan segala perbuatannya. Dalam kerisauan itu ia terpisah dari rombongannya. Tiba-tiba terdengar olehnya sebuah seruan: “Bangunlah!”

Ibrahim pura-pura tidak mendengar seruan itu. Ia terus memacu kudanya. Untuk kali keduanya suara itu berseru kepadanya, namun Ibrahim tetap tidak mempedulikannya. Ketika suara itu berseru untuk kali ketiganya, Ibrahim semakin memacu kudanya. Akhirnya untuk kali keempat, suara itu berseru: “Bangunlah sebelum engkau kupukul!”

Ibrahim tidak dapat mengendalikan dirinya. Di saat itu terlihat olehnya seekor rusa. Ibrahim hendak memburu rusa itu tetapi tiba-tiba binatang itu berkata kepadanya: “Aku disuruh untuk memburumu. Engkau tidak dapat menangkapku. Untuk inikah engkau diciptakan atau inikah yang diperintahkan kepadamu?”

“Tuhan, apakah yang menghalang diriku ini?” seru Ibrahim. Ia memalingkan wajahnya dari rusa tersebut. Tetapi dari tali pelana kudanya terdengar suara yang menyerukan kata-kata yang serupa, Ibrahim kebingungan dan ketakutan. Seruan itu semakin jelas kerana Allah Yang Maha Berkuasa mahu menunaikan janji-Nya. Kemudian suara yang serupa berseru lagi dari bajunya. Akhirnya sempurnalah seruan Allah itu dan pintu syurga terbuka bagi Ibrahim. Keyakinan yang teguh telah tertanam di dalam dadanya. Ibrahim turun dari tunggangannya. Seluruh pakaian dan tubuh kudanya basah oleh cucuran air matanya. Dengan sepenuh hati Ibrahim bertaubat kepada Allah.

Ketika Ibrahim menyimpang dari jalan raya, ia melihat seorang gembala yang memakai pakaian dan topi dibuat dari bulu kambing biri-biri. Pengembala itu sedang menggembalakan sekumpulan binatang. Setelah diamatinya ternyata si pengembala itu adalah hambanya yang sedang menggembalakan biri-biri kepunyaannya. Kepada pengembala itu Ibrahim menyerahkan pakaian yang bersulam emas, topinya yang bertatahkan batu permata dan biri-biri tersebut, sedang dari pengembala itu Ibrahim meminta pakaian dan topi dari bulu biri-biri yang sedang dipakainya. Ibrahim lalu memakai pakaian dan topi bulu milik pengembala itu dan semua malaikat menyaksikan perbuatannya itu dengan penuh kekaguman.

“Betapa megah kerajaan yang diterima putera Adam ini,” malaikat-malaikat itu berkata. “Ia telah mencampakkan pakaian keduniaan yang kotor lalu menggantikannya dengan jubah kepapaan yang megah.”

Dengan berjalan kaki, Ibrahim bermusafir melalui gunung-ganang dan padang pasir yang luas sambil menyesali segala dosa-dosa yang pernah dilakukannya. Akhirnya ia sampai di Merv. Di sini Ibrahim melihat seorang lelaki terjatuh dari sebuah jambatan. Pasti ia akan mati dihanyutkan oleh air sungai.

“Dari jauh Ibrahim berseru: “Ya Allah, selamatkanlah dia!”

Seketika itu juga tubuh lelaki itu berhenti di awang-awangan sehingga orang lain tiba dan menariknya ke atas. Dan dengan merasa hairan mereka memandang Ibrahim: “Manusia apakah itu?” seru mereka.

Ibrahim meninggalkan tempat itu dan terus berjalan sampai ke Nishapur. Di kota Nishapur Ibrahim mencari sebuah tempat terpencil di mana ia dapat tekun mengabdikan diri kepada Allah. Akhirnya bertemulah ia dengan sebuah gua yang akan menjadi amat terkenal. Di dalam gua itulah Ibrahim menyendiri selama sembilan tahun, tiga tahun pada setiap ruang yang terdapat di dalamnya. Tidak seorang pun yang tahu apakah yang telah dilakukannya baik siang mahupun malam di dalam gua itu, kerana hanya seorang manusia yang luar biasa gagahnya yang sanggup bersendirian di dalam gua itu pada malam hari.

Setiap hari Khamis, Ibrahim memanjat keluar dari gua tersebut untuk mencari kayu api. Keesokan paginya ia pergi ke Nishapur untuk menjual kayu-kayu itu. Setelah melakukan solat Jumaat ia pergi membeli roti dengan wang yang diperolehinya. Roti itu separuhnya diberikan kepada pengemis dan separuhnya lagi untuk membuka puasanya. Demikianlah yang dilakukannya setiap minggu.

Pada suatu malam di musim salji, Ibrahim sedang berada di tempat beribadah. Malam itu udara sangat dingin dan untuk bersuci Ibrahim harus memecahkan ais. Sepanjang malam badannya menggigil namun ia tetap mengerjakan solat dan berdoa hingga fajar menyinsing. Ia hampir mati kediginan. Tiba-tiba ia teringat pada api. Di atas tanah dilihatnya ada sebuah kain bulu. Dengan kain bulu itu sebagai selimut ia pun tertidur. Setelah hari terang benderang barulah ia terjaga dan badannya terasa hangat. Tetapi ia segera sedar bahawa yang disangkanya sebagai kain bulu itu adalah seekor naga dengan biji mata berwarna merah darah. Ibrahim berdoa: “Ya Allah, Engkau telah mengirimkan mahkluk ini dalam bentuk yang halus, tetapi sekarang terlihatlah bentuk sebenarnya yang sangat mengerikan. Aku tidak kuat menyaksikannya.”

Naga itu segera bergerak dan meninggalkan tempat itu setelah dua atau tiga kali bersujud di depan Ibrahim.

Ibrahim bin Adham pergi ke Makkah

Ketika kemasyhuran kealimannya tersebar luas, Ibrahim meninggalkan gua tersebut dan pergi ke Makkah. Di tengah perjalanan, Ibrahim berjumpa dengan tokoh besar agama yang mengajarkan kepadanya Nama Yang Teragung dari Allah dan setelah itu pergi meninggalkannya. Dengan Nama Yang Teragung itu Ibrahim menyeru Allah dan sesaat kemudiaan nampaklah olehnya Nabi Khidir as.

“Ibrahim,” kata Nabi Khidir kepadanya. “Saudaraku Daud yang mengajarkan kepadamu Nama Yang Teragung itu.”

Kemudian mereka berbincang-bincang mengenai berbagai masalah. Dengan izin Allah swt Nabi Khidir adalah manusia pertama yang telah menyelamatkan Ibrahim.

Mengenai kisah selanjutnya, perjalanannya menuju ke Makkah Ibrahim menceritakan seperti berikut ini: “Setibanya di Zatul Iraq, kudapati seramai tujuh puluh orang yang berjubah kain perca bergelimpangan mati dan darah mengalir dari hidung dan telinga mereka. Aku berjalan di sekitar mayat-mayat tersebut, ternyata salah seorang di antaranya masih hidup.”

“Anak muda, apakah yang telah terjadi?” Aku bertanya kepadanya.

“Wahai anak adam,” jawabnya padaku. “Duduklah berhampiran air dan tempat solat, janganlah menjauhinya agar engkau tidak dihukum, tetapi jangan pula terlalu dekat agar engkau tidak celaka. Tidak seorang manusia pun bersikap terlampau berani di depan sultan. Takutilah Sahabat yang memukul dan memerangi para penziarah ke tanah suci seakan-akan mereka itu orang-orang kafir Yunani. Kami ini adalah rombongan sufi yang menembus padang pasir dengan berharap Allah dan berjanji tidak akan mengucapkan sepatah katapun di dalam perjalanan, tidak akan memikirkan apa pun kecuali Allah, sentiasa membayangkan Allah ketika berjalan mahupun istirehat, dan tidak peduli kepada segala sesuatu kecuali kepada-Nya.”

Setelah kami mengharungi padang pasir dan sampai ke tempat di mana para penziarah harus mengenakan jubah putih, Khidir as datang menghampiri kami. Kami mengucapkan salam kepadanya dan Khidir membalas salam kami. Kami sangat gembira dan berkata: “Alhamdulillah, sesungguhnya perjalanan kita telah diredhai Allah, dan yang mencari telah mendapatkan yang dicari, kerana bukankah orang soleh sendiri telah datang untuk menyambut kita.” Tetapi saat itu juga berserulah sebuah suara dalam diri kami: “Kamu pendusta dan berpura-pura! Begitulah kata-kata dan janji kamu dahulu? Kamu lupa kepada-Ku dan memuliakan yang lain. Binasalah kamu! Aku tidak akan membuat perdamaian dengan kamu sebelum nyawa kamu Kucabut sebagai pembalasan dan sebelum darah kamu Kutumpahkan dengan pedang kemurkaan! Manusia-manusia yang engkau saksikan bergelimpangan di sini, semuanya adalah korban dari pembalasan itu. Wahai Ibrahim, berhati-hatilah engkau! Engkau pun mempunyai cita-cita yang sama. Berhati-hatilah atau pergilah jauh-jauh dari situ.?

Aku sangat takut mendengar kisah itu. Aku bertanya kepadanya: “Tetapi mengapakah engkau tidak turut dibinasakan?”

Kepadaku dikatakan: “Sahabat-sahabatmu telah matang sedang engkau masih mentah. Biarlah engkau hidup sesaat lagi dan akan menjadi matang. Setelah matang engkau pun akan menyusul mereka.”

Setelah berkata demikian ia pun menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Ibrahim tiba di Makkah

Empat belas tahun lamanya Ibrahim mengharungi padang pasir dan selama itu pula ia selalu berdoa dan merendahkan diri kepada Allah. Ketika hampir sampai ke kota Makkah, para sesepuh kota hendak menyambutnya.Ibrahim mendahului rombongannya agar tidak seorang pun dapat menyenali dirinya. Hamba-hamba yang mendahului para sesepuh tanah suci itu melihat Ibrahim, tetapi kerana belum pernah bertemu dengannya, mereka tidak mengenalinya. Setelah Ibrahim begitu dekat, para sesepuh itu berseru:” Ibrahim bin Adham hampir sampai. Para sesepuh tanah suci telah datang menyambutnya.”

“Apakah kamu inginkan dari si bidaah itu?” tanya Ibrahim kepada mereka. Mereka langsung menangkap Ibrahim dan memukulnya.

“Para sesepuh tanah suci sendiri datang menyambut Ibrahim tetapi engkau menyebutnya bidaah?” herdik mereka.

“Ya, aku katakan bahawa dia adalah seorang bidaah,” Ibrahim mengulangi ucapannya.

Ketika mereka meninggalkan dirinya, Ibrahim berkata pada dirinya sendiri: “Engkau pernah menginginkan agar para sesepuh itu datang menyambut kedatanganmu, bukankah telah engkau perolehi beberapa pukulan mereka? Alhamdulillah, telah kusaksikan betapa engkau telah memperoleh apa yang engkau inginkan!”

Ibrahim menetap di kota Makkah. Ia selalu ditemani beberapa orang sahabat dan ia memperolehi nafkah sebagai tukang kayu.

Suatu ketika Ibrahim bin Adham, melewati pasar yang ramai. Selang beberapa saat beliau pun dikerumuni banyak orang yang ingin minta nasehat. Salah seorang di antara mereka bertanya, “Wahai Guru! Allah telah berjanji dalam kitab-Nya bahwa Dia akan mengabulkan doa hamba-Nya. Kami telah berdoa setiap hari, siang dan malam, tapi mengapa sampai saat ini doa kami tidak dikabulkan?”

Ibrahim bin Adham diam sejenak lalu berkata, “Saudara sekalian. Ada sepuluh hal yang menyebabkan doa kalian tidak dijawab oleh Allah.

Pertama, kalian mengenal Allah, namun tidak menunaikan hak-hak-Nya.

Kedua, kalian membaca Al-Quran, tapi kalian tidak mau mengamalkan isinya.

Ketiga, kalian mengakui bahwa iblis adalah musuh yang sangat nyata, namun dengan suka hati kalian mengikuti jejak dan perintahnya.

Keempat, kalian mengaku mencintai Rasulullah, tetapi kalian suka meninggalkan ajaran dan sunnahnya.

Kelima, kalian sangat menginginkan surga, tapi kalian tak pernah melakukan amalan ahli surga.

Keenam, kalian takut dimasukkan ke dalam neraka, namun kalian dengan senangnya sibuk dengan perbuatan ahli neraka.

Ketujuh, kalian mengaku bahwa kematian pasti datang, namun tidak pernah mempersiapkan bekaluntuk menghadapinya.

Kedelapan, kalian sibuk mencari aib orang lain dan melupakan cacat dan kekurangan kalian sendiri.

Kesembilan, kalian setiap hari memakan rezeki Allah, tapi kalian lupa mensyukuri nikmat-Nya.

Kesepuluh, kalian sering mengantar jenazah ke kubur, tapi tidak pernah menyadari bahwa kalian akan mengalami hal yang serupa.”

Setelah mendengar nasehat itu, orang-orang itu menangis.

Dalam kesempatan lain Ibrahim kelihatan murung lalu menangis, padahal tidak terjadi apa-apa. Seseorang bertanya kepadanya. Ibrahim menjawab, “Saya melihat kubur yang akan saya tempati kelak sangat mengerikan,
sedangkan saya belum mendapatkan penangkalnya. Saya melihat perjalanan di akhirat yang begitu jauh, sementara saya belum punya bekal apa-apa. Serta saya melihat Allah mengadili semua makhluk di Padang Mahsyar, sementara
saya belum mempunyai alasan yang kuat untuk mempertanggungjawab kan segala amal perbuatan saya selama hidup di dunia.”

No comments:

Post a Comment